Latar Belakang
Pada awal abad XIX pengaruh pemerintah kolonial Belanda dalam Kesultanan Yogyakarta semakin kuat.
Sementara itu, kekuasaan raja di Kesultanan Yogyakarta semakin kecil karena raja hanya sebagai simbol untuk mengesahkan kebijakan yang ingin diterapkan pemerintahan kolonial Belanda.
Besarnya pengaruh Belanda tersebut ditentang oleh pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengku Buwono III dari garwa ampeyan (selir).
Pada tahun 1822 Pangeran Diponegoro diangkat menjadi wali kerjaan mendampingi Sultan Hamengku Bowono V yang baru berusia tiga tahun.
Pengangkatan Pangeran Diponegoro sebagai wakil kerjaan membuat Belanda mulai khawatir dengan kekuasaannya di Kesultanan Yogyakarta.
Belanda kemudian mengangkat Patih Danurejo untuk menjalankan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta di bawah pengawasan Residen Belanda.
Atas perintah Patih Danurejo, tanah Pangeran Diponegoro di Tegalrejo dipatok tanpa izin untuk dijadikan jalan.
Pangeran Diponegoro sangat marah karena di tanah itu terletak makam leluhurnya.
Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro mencabut semua patokan dan menggantinya dengan bambu runcing sebagai simbol perlawanan.
Proses Perlawanan
Pangeran Diponegoro kemudian membentuk pasukan dan mengobarkan Perang Jawa pada tahun 1825. Banyak bangsawan dan ulama yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.
Dalam Perang Jawa Pangeran Diponegoro dibantu oleh dua tokoh tangguh yaitu Sentot Prawirodirjo dan Kiai Mojo.
Melalui strategi perang gerilya, pasukan Pangeran Diponegoro berhasil merepotkan pasukan Belanda yang dipimpin Jendral H.M. de Kock.
Melihat semakin kuatnya pasukan Pangeran Diponegoro, Belanda menerapkan taktik benteng stelsel (sistem benteng). Belanda mendirikan benteng di setiap daerah yang berhasil direbut dari pasukan Pangeran Diponegoro.
Akhir Perlawanan
Pada tahun 1830 Belanda Jendral de Kock berbuat licik. Ia memerintahkan pasukannya untuk menangkap Pangeran Diponegoro.
Selanjutnya, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.
Semoga Bermanfaat!